Monday, August 11, 2025

Tri Sakti Gaib Nusantara (3 ras gaib nusantara)

Tags


TRI SAKTI GAIB NUSANTARA

(Warisan Sakral Era Prabu Sanghyang Borosngora, Abhiraja Pramodhawardhani (Ki Lingga Gardapati) dan Nyi mas sekartaji– Binding Langsung ke Tubuh)


KISAH LELUHUR & JEJAK SEJARAH


Pada abad ke-13, ketika kekuatan supranatural masih menyatu dengan takhta raja, berdirilah Kerajaan Panjalu di jantung tanah Jawa. Prabu Sanghyang Borosngora, raja sakti dan spiritualis agung, melakukan lelungan batin ke Gunung Sawal untuk menyelamatkan kerajaannya dari kehancuran. Di puncak tirakatnya, ia berhasil mengikat perjanjian suci dengan tiga ras penjaga jagat :


- Garuntala, penguasa langit.

- Bhairaka, penjaga bumi.

- Naganendra, penjaga lautan.


Upacara tersebut dikenal sebagai Pasewakan Tri Mandala, ikatan gaib yang tak pernah terputus hingga saat ini, hanya bisa diwariskan pada mereka yang dipanggil oleh tiga penjaga agung itu sendiri.


KISAH PENEMUAN OLEH KI LINGGA GARDAPATI (Tirakat 3 Malam di Candi, Tahun 2020 - Sebelum Dunia Sunyi oleh Wabah)


Pada awal tahun 2020, tepat beberapa minggu sebelum kabar tentang wabah besar menyapu dunia, aku, Ki Lingga Gardapati, melakukan perjalanan spiritual ke sebuah candi kuno yang tersembunyi di kawasan pegunungan Jawa Barat. Tujuannya bukan untuk mencari pusaka, bukan pula untuk sekadar bersemadi. Tapi untuk menjawab suara batin yang telah memanggil selama bertahun-tahun, suara dari tiga entitas penjaga gaib Nusantara yang disebut hanya dalam bisikan para tetua gaib.


Aku tidak sendiri. Dalam ritual ini aku ditemani oleh dua saksi yang kini menjadi bagian penting dari jejak spiritualku : Nyi Mas Sekartaji, salah satu muridku yang kini dikenal menjadi  paranormal di Hongkong, serta suaminya, seorang pria pendiam yang peka terhadap kehadiran dimensi lain dan selalu mendukung istrinya. Kami membawa sesajen sederhana namun sarat makna :


- Tumpeng kuning dan putih


- Jajanan pasar lengkap tujuh rupa


- Daun sirih dan pinang


- Air dari tiga sumber mata air pegunungan, laut selatan, dan sungai di lereng gunung salak.


Aku mengenakan jubah ritual hitam peninggalan ayahku, sementara Nyi Mas Sekartaji mengenakan selendang putih dan duduk sisi kanan. Selama tiga malam, kami berdiam di area candi yang terisolasi, dikelilingi kabut dan suara malam. Di situlah, di antara wangi dupa dan nyala lilin yang bergoyang pelan, satu per satu akhirnya mereka datang.


Malam Pertama – Garuntala

Di malam pertama, saat meditasi mencapai titik tenang, langit terbuka secara batin. Dari atas muncul sosok bersayap lebar berwarna emas tembaga. Garuntala, dengan mata merah bara dan postur setengah manusia setengah burung elang, mengitari candi dalam lingkaran besar. "Kamu memanggilku bukan dengan suara, tapi dengan susunan niat dan tata persembahan. Aku datang bukan untuk dilayani, tapi untuk menjaga." Energinya menyelimuti tubuhku, dan jantungku berdetak tak seperti biasanya. Dalam pandangan batin, aku melihat sayapnya membungkus tubuhku, menciptakan lapisan proteksi yang tak kasatmata.


Malam Kedua – Bhairaka

Tanah di sekitar candi terasa bergetar. Suara seperti geraman bumi terdengar jauh dari arah barat. Dari celah gaib antara dunia, muncul sosok Bhairaka, tinggi, kokoh, dan tenang. Tubuhnya tersusun dari batu hitam dan logam vulkanik. Ia tidak bicara melalui kata, tapi dengan getaran yang mengisi rongga dadaku. "Kamu datang dengan niat yang tidak tergoyahkan. Maka aku akan menjadi pondasimu." Saat ia menekan tangan astralnya ke dadaku, tubuhku terasa berat seperti diikat oleh kekuatan bumi. Tapi bukan beban melainkan pijakan.


Malam Ketiga – Naganendra

Di malam ketiga, air yang kami bawa dari laut selatan dibuka. Aromanya memenuhi area candi. Saat aku mulai bermeditasi, hadir sosok ramping bersisik biru kehijauan, tubuh bagian bawahnya seperti naga laut, bermata dalam seolah memandang langsung ke dasar jiwaku. Naganendra muncul perlahan dari air. Energinya lembut, namun kuat. "Kamu memanggilku dengan ketulusan dan kesunyian. Maka aku akan mengalir di nadi-nadimu." Tubuhku terasa seperti disusupi gelombang yang tidak membasahi, namun menyatu. Nafasku menjadi panjang, ringan, dan damai.


Mandat Agung dari Eyang Prabu

Saat malam ketiga mencapai ujungnya, tubuhku terasa ringan namun seluruh pori seperti terbuka, menerima energi dari segala arah. Naganendra telah menghilang dalam getaran udara, meninggalkan jejak kehadiran dalam aliran nadiku.


Saat itulah...

Tanpa aba-aba, angin berputar pelan mengitari altar persembahan. Asap dupa membentuk pola spiral ke atas, dan dari kejauhan terdengar suara langkah pasukan, tapi bukan manusia biasa. Langkah itu tidak mengguncang tanah, tapi langsung menembus lapisan batin.


Dari arah barat daya, bayangan besar muncul, kereta kencana bersinar lembut ditarik oleh empat ekor kuda gaib berwarna hitam berkilau. Di atasnya berdiri seorang sosok agung : Eyang Prabu Sanghyang Borosngora, penguasa Panjalu yang kisahnya selama ini hanya kudengar dalam desisan babad dan doa-doa yang tertinggal di batu tua.


Tubuh beliau diselimuti jubah putih keemasan, sorot matanya tajam namun penuh welas, dan di belakangnya berdiri tujuh senopati leluhur Panjalu dalam balutan baju perang yang tak tergores usia. Mereka bukan bayangan, bukan mimpi tapi wujud utuh yang hadir dalam ruang gaib yang terbuka malam itu.


Eyang Prabu tidak bicara dengan suara, tapi suara beliau langsung berbicara di dalam dadaku :


"Wahai Abhiraja Pramodhawardhani (Nama spiritual saya sebelum berganti menjadi Lingga gardapati), Wahai Sekartaji yang cantik jelita, malam ini kuteruskan warisan ini pada kalian. Bukan karena engkau mencarinya, tapi karena engkau tidak lari ketika dunia membungkam. Maka kini, jagalah ikatan tiga penjuru ini dengan kebijaksanaan, bukan dengan ambisi. Ajarilah mereka yang layak, bukan yang memaksa. Karena kekuatan sejati bukan milik orang yang berani mengambil, tetapi yang siap memikulnya sampai akhir."


Lalu beliau mengangkat tongkat kayu cendana yang bercahaya di ujungnya dan menunjukkannya ke arahku. Di detik itu, lidahku terucap mantra yang tidak pernah kupelajari, mengalir begitu saja seperti warisan genetik yang akhirnya bangkit. Setelah beliau menyelesaikan mandatnya, kereta kencana itu bergerak perlahan dan menghilang dalam pusaran cahaya yang merunduk ke arah selatan, meninggalkan aroma harum kayu gaharu dan vibrasi sakral yang belum pernah kurasakan sebelumnya.


Aku, Nyi Mas Sekartaji, dan suaminya hanya bisa terdiam. Di fajar keesokan harinya, kami tahu bahwa kami bukan lagi tiga orang yang sama. Kami telah menjadi bagian dari ikatan agung, yang tidak tertulis di kitab manapun, tapi telah tertanam dalam garis takdir kami selamanya.


Pada fajar hari keempat, seluruh semesta terasa hening. Bahkan suara burung dan desir angin seperti memberi ruang. Saat itulah aku sadar mereka telah masuk, bukan ke pusat cakra, melainkan mengelilingi medan energi tubuhku dari sisi luar, sebagai pelindung, pengarah, dan penguat resonansi.


- Garuntala menyelaraskan diri di lapisan aura atas, menjadi penjaga batin, mengawasi dari atas kepala dan memantau niat pikiran.


- Bhairaka beresonansi di lingkar pelindung luar tubuh, menjadi tameng segala energi kasar yang hendak masuk, terutama dari arah samping atau belakang.


- Naganendra mengalir di alur energi luar bawah, menjaga fondasi kaki dan koneksi dengan bumi dan arus dimensi air.


Sejak malam itu, aku tahu bahwa Tri Sakti Gaib Nusantara telah terikat bukan dengan benda, bukan dengan tulisan, tapi dengan tubuh dan niatku sendiri. Mereka tidak memasuki titik inti tubuh, tidak bersarang di cakra, tetapi bergerak mengikuti medan auraku, menguatkan sistem alami yang sudah ada, tanpa mengganggu murninya pusat-pusat energi dalam diriku.


Saya teringat sabda guru : “Yang menyerahkan dirinya kepada alam, akan dijaga oleh kekuatan yang melampaui batas manusia.” 


ASAL-USUL & FUNGSI TIAP RAS GAIB


1. Garuntala – Penjaga Langit dari Candi Cangkuang

Garuntala berasal dari Candi Cangkuang, candi Hindu tertua di Tatar Sunda yang berdiri di tengah danau kecil di Kampung Pulo, Garut. Di sinilah Garuntala dilahirkan pada tirakat kuno yang menyatukan kekuatan langit dan manusia melalui altar suci.


Fungsi :


- Menghalau ancaman gaib yang datang dari arah langit.


- Memancarkan wibawa dan ketajaman intuisi.


- Memberikan perlindungan energetik dalam perjalanan dan ekspedisi.


2. Bhairaka – Penjaga Bumi dari Gunung Galunggung

Bhairaka lahir dari semburan energi purba Gunung Galunggung yaitu gunung sakral di Jawa Barat, dekat Garut yang selama ribuan tahun dianggap sebagai poros kesaktian dan kekuatan alam. Dia adalah manifestasi jiwa bumi yang melindungi wilayah lepas lahan dan pegunungan.


Fungsi :


- Menjadi pelindung fisik dan spiritual terhadap bencana atau gangguan luar.


- Memperkuat fondasi keberanian dan ketenangan batin.


- Membantu menghancurkan hambatan rezeki dan perjalanan hidup.


3. Naganendra – Penjaga Arus dari Gerbang Laut Selatan ke‑13

Naganendra tidak berasal dari sembarang laut. Ia adalah penjaga dimensi gaib yang menetap di gerbang ke-13 Kerajaan Laut Selatan, sebuah jalur energi kuno yang tersembunyi di Pantai Cibangban, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Menurut laku lisan para spiritualis wilayah selatan, Cibangban adalah titik "pintu air" yang hanya bisa diakses secara batin oleh mereka yang telah melepaskan keterikatan duniawi. Dari gerbang itu, arus dimensi bawah laut bertemu dengan jalur energi naga membentuk medan yang tidak hanya air, tapi juga hidup, sadar, dan mengalir ke tubuh manusia melalui ritual yang benar. Naganendra lahir dari pertemuan antara roh naga laut dan Sang Raja Laut, menciptakan makhluk gaib yang berfungsi bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai pengalir takdir dan pemurni jalur rejeki.


Fungsi :


- Menetralisir energi negatif yang dibawa lewat elemen air (makanan, tempat tinggal, perasaan).


- Menguatkan arus rezeki agar tidak mandek atau bocor ke dimensi bawah.


- Menghaluskan hubungan emosional, baik dengan pasangan, keluarga, maupun spirit pelindung.


- Membuka jalur batin agar lebih selaras dengan kehendak alam dan suara semesta.


Tri Sakti Gaib Nusantara bukan sekadar sistem proteksi. Ini adalah portal hidup yang menjadikan tubuh dan jiwamu sebagai rumah bagi tiga entitas penjaga agung: langit, bumi, dan samudra.

Siapa pun yang berhasil mengikat ketiganya, berarti juga telah menyatukan jalur energi utama di semesta gaib peradaban Nusantara dari jalur warisan Panjalu.


“Tidak perlu pusaka. Tidak perlu bendera. Tubuhmu adalah medan tempur, jiwamu adalah kerajaannya.” (Eyang Prabu Borosngora)


Penutup Agung – Pemateraian Tertinggi dari 2 Leluhur dan Ratu Samudera

Bertahun-tahun telah berlalu sejak aku, Ki Lingga Gardapati, membentuk ikatan batin dengan Garuntala, Bhairaka, dan Naganendra. Mereka tidak lagi sekadar spirit penjaga tetapi telah menjadi bagian dari medan energi hidupku, seolah mereka dan aku telah melebur dalam satu napas. Namun perjalanan ini belum selesai.


Pada satu malam sakral, saat aku duduk bersila di altar pribadiku dengan dupa menyala dan hati yang bersih, dunia di sekelilingku mulai berubah.

Udara menjadi padat namun tidak menyesakkan. Aroma laut, tanah basah, dan langit mendung hadir bersamaan.


Tiba-tiba, ruangan berubah menjadi lapisan antara dunia. Dan di tengah pusaran energi yang lembut namun kuat itu, tiga cahaya besar muncul bersamaan, berdiri di tiga penjuru utama.


Di arah barat laut :

Eyang Prabu Sanghyang Borosngora, dengan sorot mata tajam namun penuh welas, berdiri dalam aura keemasan Panjalu, memegang tongkat cendana kerajaan, disertai kereta kencana gaibnya dan para senopati leluhur.


Di arah selatan :

Kanjeng Ratu Kidul, berselendang ombak, mengenakan mahkota laut selatan, dengan tatapan dalam yang memancarkan kebijaksanaan samudra tua. Di sekelilingnya, aura laut seperti melindungi seluruh ruang dengan kesejukan dan kekuatan gelombang tak terlihat.


Di arah timur :

Eyang Prabu Siliwangi, berjubah putih, wajahnya bercahaya dan menggetarkan, diiringi tiga Mahapatih Macan Kumbang. Di belakangnya, siluet Gapura Pajajaran berdiri dalam dimensi lain, seolah sejarahnya belum pernah padam.


Ketiganya hadir bukan untuk memberi restu tapi untuk memateraikan. Lalu suara gaib mengalun bukan dari mulut mereka, tapi langsung masuk ke dalam batinku. Suara mereka bergantian, namun menyatu seperti satu kehendak agung :


“Kamu tidak hanya menjaga warisan. Kamu telah hidup bersamanya. Maka mulai malam ini, kami tiga penguasa jagat dari langit, laut, dan bumi meneguhkan ikatanmu. Bukan sebagai pemilik, tapi sebagai pemegang amanah.”


Lalu satu per satu mereka menyentuhkan energi mereka :


- Eyang Prabu Borosngora mengangkat tongkatnya ke arah langit, lalu ke arahku melambangkan restu jalur raja-raja.


- Kanjeng Ratu Kidul melilitkan selendangnya dalam cahaya hijau keemasan, menutupkan arus laut ke dalam medan energiku.


- Eyang Prabu Siliwangi menyentuh dadaku secara batin, menggetarkan seluruh niat dan keberanian yang pernah kupendam.


Garuntala, Bhairaka, dan Naganendra yang selama ini menjagaku, tiba-tiba bersinar jauh lebih terang seolah kekuatan mereka digandakan oleh kehadiran tiga raja agung ini. Lalu, dari titik pusat antara mereka bertiga, muncul Segel Cahaya : berbentuk lingkaran dengan tiga pusaran yang mewakili langit, bumi, dan laut masuk perlahan ke dalam tubuhku tanpa rasa sakit, hanya hangat... dalam... dan menggetarkan.


"Jangan sombong dengan kekuatan, tapi jagalah ia seperti menjaga nafasmu sendiri.” (Sabda Bersama Kanjeng ratu, Prabu borosngora dan prabu siliwangi)


Dengan kejadian itu, semua yang kulakukan sebelumnya tidak lagi hanya sebatas lelaku pribadi. Aku tahu, sekarang aku memegang jalur pemegang warisan gaib Nusantara, yang tak tercatat dalam kitab resmi tapi hidup dalam nadi para penjaga sejati.


Tri Sakti Gaib Nusantara bukan hanya tentang perlindungan atau kekuatan. Ia adalah perjanjian suci yang dijaga oleh penguasa jagat :


Langit oleh Garuntala.

Bumi oleh Bhairaka.

Samudra oleh Naganendra.


Dan kini disaksikan oleh Eyang Borosngora, Bunda Ratu Kidul, dan Eyang Prabu Siliwangi. tiga nama yang jika disebut sembarangan bisa mengguncang dimensi. Aku bersumpah : 


“Selama aku menjaga jalan ini, aku tidak sendiri. Mereka bersama. Dan yang bersama tidak pernah kalah.” (Abhiraja Pramodhawardani / Lingga gardapati)


Ritual Konjurasi Pembindingan Tri Sakti Gaib Nusantara


Waktu terbaik : malam hari antara pukul 20:30 – 22:00 WIB, Sebaiknya dilakukan pada malam Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, atau malam bulan purnama untuk efek maksimal.


Bahan Ritual (Semua bahan mudah dicari namun punya resonansi kuat) :


- Data diri dan Foto selfie terbaru (Wajin untuk media pembindingan portal)

- 3 batang dupa wangi kemenyan (Simbol pemanggilan 3 ras gaib : Garuntala, Bhairaka, Naganendra)

- 1 lilin merah (Melambangkan tubuh fisik dan kesiapan raga untuk menjadi vessel)

- 1 lilin putih (Melambangkan jiwa dan keterbukaan roh menerima ikatan gaib)

- 1 gelas air dari sumber alami (Air dari mata air atau sumur tua atau sungai atau laut, pilih salah satu sebagai pengikat dimensi alam)

- Kain alas hitam polos (Cukup seukuran saputangan, sebagai alas altar mini)


Mahar sepanjang agustus : Rp 1.777.777

Mahar normal : tidak ada karena selesai agustus akan ditutup

Mahar Hemat Rp 1.945.817 (+ Kawa Buhaya Inguan)



Info dan Pemaran: Admin Amurwa Bhumi



 

This Is The Newest Post